Pertempuran
Laut Aru 15 Januari 1962,
Pertempuran Laut Aru 15 Januari 1962
Peristiwa “Pertempuran Laut Aru”
yang terjadi 45 tahun silam merupakan dampak dan konfrontasi Indonesia –
Belanda akibat sengketa Irian Barat atau yang
kini kita kenal sebagai Propinsi
Irian Jaya. Hal tersebut bermula dari keingkaran Pemerintah Kerajaan Belanda
untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI, meskipun telah disepakati
dalam Perjanjian Roem-Roijen 1949. Sehingga akhirnya Indonesia kemudian
mengumandangkan Tri Komando Rakjat atau disingkat Trikora yang intinya menuntut
pengembalian Irian Barat melalui berbagai cara, termasuk dengan cara pengerahan
kekuatan militer.
Ini berarti perseteruan
Indonesia-Belanda memasuki tahapan baru yaitu dari fase diplomasi menjadi
konfrontasi di segala bidang. Guna melengkapi dan memodernisasi kekuatan
militernya, Indonesia “memborong” sejumlah besar peralatan tempur dari berbagai
negara, antara lain Uni Soviet, Republik Fedarasi Jerman (Jerman Barat), Italia
dan Yugoslavia. Salah satu jenis peralatan militer yang didatangkan untuk
memperkuat Jajaran Armada ALRI adalah kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo
Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat. Kapal perang jenis ini memiliki kemampuan
untuk menembakkan torpedo anti kapal permukaan.
Guna melaksanakan operasi infiltrasi
(penyusupan) yang bertujuan memasukkan sejumlah pasukan gerilya ke Bumi
Cenderawasih tersebut, ALRI mengerahkan 4 kapal perang jenis MTB, yaitu Rl
Matjan Tutul, RI Matjan Kumbang, Rl Harimau dan Rl Singa. Karena dipersiapkan
untuk mengangkut pasukan, maka persenjataan utama andalan kapal perang jenis
MTB ini yaitu torpedo, terpaksa “dikorbankan” alias dilucuti agar kapal
memiliki ruang yang lebih besar. Hal ini berakibat fatal ketika mereka terpaksa
harus berhadapan dengan kapal perang musuh.
Dari keempat MTB tersebut, ternyata
hanya 3 yang mampu bergerak hingga memasuki perairan Irian Barat, karena RI
Singa mengalami kerusakan mesin. Namun di perjalanan tepatnya di posisi 4,49
derajat selatan dan 135,2 derajat timur ketiga MTB ALRI tersebut dihadang 3
kapal perang AL. Kerajaan Belanda, yaitu Destroyer Klas Province Hr.Ms.
Utrecht, Fregat Hr. Ms. Evertsen dan Korvet Hr.Ms. Kortenaer.
Sebelum dua pihak yang bermusuhan
tersebut berpapasan, 2 pesawat intai maritim AL Belanda jenis Neptune dan
Firefly telah lebih dahulu memergoki MTB ALRI dan selanjutnya mengirimkan
berita ke kapal meraka. Akibatnya, terjadilah kontak senjata di tengah laut di
Laut Aru. Menyadari bahwa kekuatan tidak seimbang, ketiga MTB ALRI bermaksud
menghindar, namun ketiga musuhnya tidak membiarkan mereka lolos begitu saja.
Guna melindungi dua kapal lainnya, Rl Matjan Tutul melakukan manuver bergerak
maju secara lurus langsung menuju Hr.Ms Evertsen.
Manuver ini dipandang berbahaya,
karena merupakan pertanda bahwa kapal berpeluncur terpedo akan meluncurkan terpedonya.
Akibatnya, KRI Matjan Tutul dihujani tembakan gencar hingga akhirnya tenggelam.
Sebagian awak RI Matjan Tutul gugur dan sebagian lagi ditawan oleh Belanda.
Sementara itu, dua MTB ALRI lainnya berhasil melolos-kan diri dan tiba di
pangkalannya dengan selamat.
Makna Hari Darma Samudera
Meskipun tanggal 15 Januari
merupakan hari terjadinya Peristiwa Pertempuran Laut Aru, namun sesungguhnya
tanggal tersebut juga mewakili sejumlah pertempuran laut lainnya yang pernah
dilakukan oleh para pahlawan TNI AL. Jauh sebelum terjadinya Peristiwa Aru,
beberapa pertempuran laut yang pernah terjadi antara lain Pertempuran Laut
Cirebon (1947) dan Pertempuran Teluk Sibolga (1947).
Bahkan jika menarik jauh kebelakang,
yaitu sejak jaman sebelum kemerdekaan Indonesia, juga pernah terjadi sejumlah
pertempuran laut, seperti Pertempuran Laut Malaka (1511) antara armada Pati
Unus dengan Portugis, Pertempuran Laut Sunda Kelapa (1512) antara armada
Fata-hillah dengan Portugis dan banyak lagi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
tanggal 15 Januari merupakan “jiwa atau semangat” pengorbanan dari seluruh
pejuang bahari yang telah berjuang mempertahankan kedaulatan negeri ini dari
masa ke masa. Inilah makna sejati dari Hari Darma Samudera. Memang di era
millenium yang serba modern dan canggih ini, kiranya sulit terjadi sebuah
pertempuran laut sebagaimana pernah dialami di masa silam. Saat ini, dua
kekuatan angkatan laut mustahil saat bertempur akan berada pada posisi saling
berhadap-hadapan. Bahkan mungkin dua kekuatan saling menghancurkan dan jarak
yang sangat jauh, karena menggunakan teknologi radar dan satelit.
Ada banyak hikmah yang dapat
dipetik dari berbagai pertempuran laut yang pernah terjadi di Indonesia. Hikmah
tersebut tidak semata mengenai pertempuran laut dan semangat rela berkorban
dari para pelaku sejarah, melainkan lebih dari itu yaitu menyangkut eksistensi
dan kedaulatan sebuah negara. Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebuah pertempuran
atau insiden bersenjata dapat terjadi karena salah satu pihak melakukan pelanggaran
wilayah secara ilegal atau paksa. Se-bagai contoh, bagaimana AL Korea Selatan
menenggelamkan beberepa kapal selam mini dan kapal permukaan milik Korea Utara
yang diduga melakukan kegiatan infiltrasi atau spionase disekitar perairan
teritorial dari pantai Korea Sela-tan.
Atau bagaimana insiden senjata
antara kapal patroli AL Republik Rakyat Cina dengan kapal patroli AL Filipina
terjadi, di perairan Kepulauan Spratley yang diklaim sebagai wilayah
masing-masing pihak. Di Indonesia sendiri, walaupun insiden senjata atau
penembakan tidak terjadi, namun ketegangan sampai terjadi ketika sejumlah kapal
perang dari pesawat militer AL Kerajaan Malaysia melakukan aksi pelanggaran
wilayah di perairan Ambalat, Laut Sulawesi. Saat itu sejumlah kapal perang dan
satuan udara TNI AL disertai pemusatan pasukan segera digelar di perairan kaya
minyak tersebut.
Tindakan tegas TNI AL ini dilandasi
bahwa apa yang terjadi di Ambalat, dan mungkin juga di daerah-daerah lain,
sudah menyangkut masalah bagaimana mempertahankan kedaulatan dan keutuhan NKRI.
Bahkan untuk “membuktikan” kepada Malaysia akan keseriusan Indonesia dalam
mempertahankan Ambalat, Presiden Rl Susilo Bambang Yudhoyono pun hadir langsung
di kawasan yang hingga masih menjadi sengketa.
Selain itu, sejumlah kapal perang
TNI AL juga secara aktif mengusir dan mencegat setiap kapal Malaysia yang nekad
mendekat. Sepintas tindakan tersebut memang terbukti efektif, karena kemudian
Malaysia menarik mundur kapal dan pesawatnya, serta bersedia hadir di meja
perundingan. Namun di balik semua itu, ada permasalahan yang akan selalu
berpotensi terjadi aksi pencaplokan sebagian wilayah NKRI oleh negara-negara
tetangga, yaitu masalah batas laut. Indonesia terkesan tidak serius dengan
untuk menyelesaikan persoalan batas laut dengan negara tetangga.
Bahkan lebih lanjut, Sobar Sutisna,
Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan
Nasional (Bakor-surtanal), menambahkan bahwa hal tersebut juga tidak ada suatu
pressure dari pihak terkait di Indonesia (Kompas,13 Maret 2007, hal. 6).
Ironisnya, permasalahan semacam ini
tidak hanya terjadi di perairan Ambalat, namun juga di wilayah-wilayah
perbatasan lainnya, seperti Selat Malaka, Selat Singapura, perairan Kepulauan
Natuna dan banyak lagi.
Sejumlah “pekerjaan rumah (PR)”
menyangkut batas laut teritorial NKRI telah menanti pemerintah Indonesia dan
juga TNI AL selaku kekuatan pertahanan negara di laut. Hal ini masih ditambah
dengan belum diakuinya secara internasional wilayah terluar perairan Indonesia
yang disebut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Jika, permasalahan batas
laut teritorial yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia, masih tetap tidak dipandang sebagai persoalan
serius, maka janganlah heran jika kelak ada lagi kasus semacam sengketa Ambalat
atau aneksasi.
Bagi TNI AL, barangkali apa yang
pernah diperjuangkan oleh para pejuang bahari di masa lalu dalam mempertahankan
kedaulatan negerinya, dapat menjadi cerminan untuk lebih meningkatkan kemampuan
dan kekuatan unsur-unsurnya agar dapat mempertahankan kedaulatan dan keutuhan
wilayah NKRI. Selain itu, TNI AL juga diharapkan dapat menjadi semacam kekuatan
pressure bagi pemerintah untuk lebih tegas dalam menyelesaikan permasalahan
batas laut teritorial, agar tidak ada lagi wilayah NKRI yang”hilang” atau
“dijarah” oleh negara lain.bambang/dbs
Pertempuran Laut Aru